Setiap
kisah dalam Al-Quran selalu bisa dijadikan sumber untuk mendapatkan hikmah dan
pelajaran atas segala sesuatu. Kisah yang sebagian besar berupa sejarah adalah
media pembelajaran yang sangat efektif bagi kita, umat muslim. Dalam hal ini,
salah satu kisah yang bisa menginspirasi kita dalam proses membangun organisasi
adalah kisah pembelajaran Nabi Khidir kepada Nabi Musa.
Kita tahu
Musa adalah anak angkat Firaun, raja tiran yang kisahnya diabadikan pula di Al
Qur’an. Musa yang sebenarnya adalah bagian dari Bani Israil, kaum yang
terhegemoni oleh Firaun, mendapatkan takdir yang sangat menarik. Ia terdidik di
Istana, dibesarkan dengan lingkungan kerajaan yang sedemikian rupa.
Namun
akhirnya, ke Bani Israil an nya pun terlihat ketika dia menghardik pegawai
Fir’aun hingga mati karena sang pengawal menganiaya seorang Bani Israil. Pada
saat inilah, Musa akhirnya keluar dari Istana. Akan tetapi, pembentukan
karakter yang telah dilaluinya selama di Asrama menjadikannya memiliki karakter
yang kurang baik. Di antaranya adalah agak sombong.
Di situ
diceritakan bahwa suatu ketika Musa sedang berpidato di hadapan kaumnya, lalu
ditanya seseorang: “Siapakah orang yang paling banyak ilmunya?” Musa langsung
menjawab, “Akulah orang yang paling banyak ilmunya.”
Kemudian
Allah memerintahkannya untuk kembali ‘belajar’. Pendapat saya: meluruskan
pendidikan-pendidikan istana. Bisa diprediksi, pasti caranya cukup radikal. Ya,
musa sudah dewasa waktu itu, harusnya karakter diri nya sudah terbentuk,
terlampau kokoh untuk diluruskan dengan cara biasa. Maka pertemuan dengan
Khidirlah yang dijadikan perintah oleh Allah untuk Musa. Tak sekadar pertemuan.
Ini pertemuan yang mengubah! (QS. al-Kahfi, ayat 60-82).
Pembelajaran
Khidir kepada Musa adalah untuk menunjukkan kepadanya bagaimana memimpin
perlawanan dari kaumnya/Bani Israil terhadap Firaun. Proses pembelajaran Khidir
kepada Musa inilah yang bisa kita sarikan untuk membangun Lembaga Dakwah
Kampus.
Ada tiga poin
utama makna pembelajaran Khidir tersebut. 1. Jaga penampilan “perahu”
(organisasi) agar selamat sampai di pelabuhan tujuan, 2. Senantiasa meluruskan
niat kader, 3.menyelamatkan warisan yang baik dari pendahulu.
Suatu
organisasi dibangun tentunya memiliki tujuan yang mendasarinya (raison d’etre)
.Hal ini sangat penting untuk diketahui setiap pengemban amanah organisasi
untuk tetap menjaganya sesuai lajur yang benar. Perjalanan organisasi dari awal
terbentuknya hingga diharapkan sampai ke tujuan harus ditempuh dengan jangka
yang tidak pendek. Demikian juga rintangan-rintangan yang ada di dalamnya,
pasti begitu banyak. Baik itu dari internal maupun eksternal. Maka, dalam hal
ini sangat diperlukan sebuah pentahapan yang strategis guna mencapai sasaran.
Dengan adanya pentahapan yang strategis tersebut, maka sistematika organisasi
(bentuk, mekanisme kerja, pencitraan, dll) bisa disesuaikan dengan
tahapan-tahapan yang sudah direncanakan. Karena, ketika kita dalam posisi belum
kuat akan tetapi eksternal sudah mengendus kita sebagai sebuah pengganggu, akan
sangat mudah bagi kita untuk dihabisi.
Pelajaran
ini dapat dikontekstualisasikan dalam bentuk rencana strategis lembaga yang berjangka
panjang. Dengan kalkulasi dan analisis baik dari segi internal maupun
eksternal, langkah gerak organisasi ini bisa disesuaikan ‘bentuk’nya.
Harapannya, tingkat survival dari organisasi ini bisa terjaga hingga tujuannya
tercapai. Misal, ketika menghadapi dekanat/rektorat yang sekuler dan cenderung
ke arah akademik, gerak lembaga dakwah kampus coba mencitrakan dirinya ke
dekanat dengan menonjolkan aspek prestatif dan santun, tidak ekstrem dalam
berdakwah. Dengan cara seperti ini, lembaga dakwah mempunyai hubungan yang
tidak terlalu buruk dengan dekanat/rektorat, dan untuk urusan pendanaan tidak
ada masalah.
2.
Luruskan motivasi para “bocah nakal” (kader)
Tidak
bisa kita pungkiri, peran sumber daya manusia dalam sebuah organisasi sangatlah
penting. Karena visi ataupun ideologi tidak akan mencapai ‘bumi’ ketika tidak
ada orang yang membawanya dan mem’bumi’kannya. Dalam konteks dakwah, ketika
kita secara sadar berada di dalam barisannya, maka kita adalah da’i. Dan da’i
yang pertama adalah bagi diri kita sendiri. Kesadaran untuk senantiasa
melakukan perbaikan diri sebelum mengajak orang lain sangat penting untuk
ditekankan. Kalau dalam Al-Quran disebutkan “Quu anfusakum waahlikum naron”,
jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.
Konsep
tersebut sudah disarikan dalam Fiqhuddakwah, bahwa prioritas pertama adalah
memperbaiki diri kita sendiri. Istilahnya kita bunuh dulu thagut yang ada pad a
diri kita, setelah itu kita beranjak untuk membersihkan yang ada di luar kita.
Ada juga kata-kata terkenal yang mengatakan bahwa ‘pemimpin adalah orang yang
sudah selesai dengan dirinya sendiri.”
Pelajaran
yang bisa diterapkan ke dalam organisasi adalah dengan adanya sistem ‘penjagaan
internal’. Diwujudkan dalam bentuk rapor kader, tatsqif wajib untuk kader, dan
forum-forum keluarga. Dengan ikhtiar yang seperti itu, lembaga dakwah
diharapkan menjadi tempat untuk ‘menjaga diri’ sekaligus tempat mengekspresikan
dakwah secara berjamaah.
Di poin
ini, ketegasan seorang pemimpin juga diperlukan. Pemimpin harus memiliki power
yang bisa menjaga pembusukan internal, yang pada akhirnya membunuh organisasi
sendiri. Perjuangan yang berat, namun harus disadari oleh setiap pemimpin.
3.
Bangun dinding yang mau runtuh untuk selamatkan “warisan terpendam” (misi
sejarah yang sering terlupakan). Inilah pelajaran untuk seorang pemimpin yang
akan membebaskan rakyatnya dari penindasan.
Pelajaran
ketiga, yang terakhir dari Khidir, adalah membangun dinding yang mau runtuh
tanpa pamrih. Musa tidak mengetahui bahwa di bawah dinding runtuh itu ada harta
warisan yang sangat berharga, milik anak yatim.
Penting
bagi organisasi untuk bisa menjaga warisan-warisan yang baik untuk kemudian
dilanjutkan di generasi sebelumnya. Pengelolaan yang sistematis, evaluasi yang
mendalam, dan perhatian yang sangat untuk menyiapkan generasi penerus. Inilah
tiga pilar yang harus dipegang erat oleh pemimpin organisasi. Dengan tiga hal
ini, generasi penerus kita akan secara baik kita warisi hal-hal apa saja yang
diperlukan guna menjalankan roda organisasi dengan lebih baik lagi.
Al-Quran
menyebutkan generasi yang gagal adalah yang mewariskan ke generasi berikutnya
sebuah generasi yang lemah. Perhatian tentang suksesi ini penting karena di
lembaga dakwah kampus, pengurus hanya memiliki kesempatan yang sangat pendek
untuk mengabdi. Bahkan ada cerita menarik tentang seorang pemimpin besar, “Apa
yang akan kau lakukan jika kau hanya diberi kesempatan untuk memimpin selama
satu hari? Sang pemimpin itu menjawab, “saya akan menyiapkan pemimpin
berikutnya.”
Jelas,
bahwa visi besar ke depan merupakan hal yang mutlak harus dimiliki oleh seorang
pemimpin. Tanpanya, ia tak akan mampu mengarahkan organisasi ini mencapai
tujuan besarnya. Dengan visi yang besar dia bisa menyingkirkan gesekan gesekan
kecil internal yang tidak produktif. Dengan membawa visi besar, tidak akan
mudah konflik remeh terjadi menimpanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar