Dalam istilah ilmu fiqih hewan
qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah. Udh-hiyah adalah hewan ternak
yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan
diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan
Shahih Fiqih Sunnah II/366)
Keutamaan Qurban
Menyembelih qurban termasuk amal
salih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu‘anha menceritakan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan
suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah
melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang
karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad shohih. Lihat
Taudhihul Ahkam, IV/450)
Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada
hari idul Adha lebih utama daripada sedekah yang senilai dengan harga hewan
qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban.
Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah.
Di samping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih
sesuai dengan sunnah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’
7/521)
Dalam hal ini para ulama terbagi
dalam dua pendapat. Ada yang mengatakan hukumnya wajib bagi orang yang
berkecukupan dan ada pula yang mengatakan hukumnya sunnah mu’akkad
(ditekankan). Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan ini
dengan menasehatkan, “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan
berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan
tanggungan,wallahu a’lam.” (Tafsir Adwa’ul bayan, 1120).
Yakinlah…! bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera
memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah
mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi
orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran
bagi orang yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Bukhari 1374 & Muslim
1010).
Hewan Yang Boleh Digunakan Untuk Qurban
Hewan qurban hanya boleh dari
kalangan Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak tertentu) yang terdiri dari onta,
sapi atau kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama
menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali
dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz406)
Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga
Seekor kambing cukup untuk qurban
satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun
jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Sebagaimana hadits Abu
Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, ”Pada masa Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban
bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih.
Lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266).
Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan
qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya kambing 1 untuk
anak si A, kambing 2 untuk anak si B… karunia dan kemurahan Allah sangat luas
maka tidak perlu dibatasi.
Bahkan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berqurban untuk
dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing
qurban. Sebelum menyembelih beliau mengatakan, “Yaa Allah ini – qurban – dariku
dan dari umatku yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229
dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’4/349). Berdasarkan hadits ini,
Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan, “Kaum muslimin yang tidak mampu
berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam.”
Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu
orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” maksudnya adalah biaya
pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya
pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang, dst.
Ketentuan Untuk Sapi & Onta
Seekor sapi dijadikan qurban
untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu
Abbasradhiyallahu’anhu beliau mengatakan, ”Dahulu kami penah bersafar bersama
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka
kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk
seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah
2536, Al Wajiz, hal. 406).
Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan
ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi,
pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.
Arisan Qurban Kambing?
Mengadakan arisan dalam rangka
berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan
untuk qurban adalah hutang untuk qurban. Sebagian ulama menganjurkan untuk
berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana
dinukil oleh Ibn Katsir dari Sufyan At Tsauri (Tafsir Ibn Katsir, surat Al
Hajj:36).
Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan
hutang daripada berqurban. Di antaranya adalah Syaikh Ibnu Utsaimin dan ulama
tim fatwa islamweb.net dibawah bimbingan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa
Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan, “Jika
ada yang memiliki hutang maka selayaknya dia mendahulukan pelunasan hutang dari
pada berqurban.” (Syarhul Mumti’ 7/455).
Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling
bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang
keadaan orang yang berhutang. Ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika
qurban terkait dengan orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau
kasus hutang yang jatuh temponya masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian
ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada qurban terkait dengan orang
yang kesulitan melunasi hutang atau hutang yang menuntut segera dilunasi.
Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh
temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan
adalah satu hal yang baik. Wallahu a’lam.
Qurban Kerbau?
Para ulama’ menyamakan kerbau
dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya dianggap sebagai satu jenis
(Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada beberapa ulama yang secara tegas
membolehkan berqurban dengan kerbau, dari kalangan Syafi’iyah (lih. Hasyiyah Al
Bajirami) maupun dari Hanafiyah (lih. Al ‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan
Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis. Jadi bisa kita
katakan bahwa berkurban dengan kerbau, hukumnya sah. Wallahu a’lam.
Urunan Qurban Satu Sekolahan
Terdapat satu tradisi di beberapa
sekolah di negeri kita, ketika iedul adha tiba sebagian mereka menggalakkan
kegiatan latihan qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah
uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di
hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?
Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam
islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana yang digariskan oleh syari’at.
Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban, alias
qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut adalah masalah pembiayaan.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, biaya pengadaan untuk seekor kambing
hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh karena itu, kasus tradisi ‘qurban’
seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai qurban.
Berqurban Atas Nama Orang Yang Sudah Meninggal?
Berqurban untuk orang yang telah
meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
a) Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama
namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya
seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya, sementara ada di antara
keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala
qurbannya meliputi dirinya dan seluruh keluarganya meskipun ada yang sudah
meninggal.
b) Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa
ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai
satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah
atas nama mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun
sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk
bid’ah, karena tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam.
Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau
kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau shallallahu ’alaihi wa sallam.
c) Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit
pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuknya jika dia meninggal.
Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka
menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang
diambil dari Risalah Udh-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51)
Umur Hewan Qurban
Untuk onta dan sapi: Jabir
meriwayatkan Rasulullah shallalahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah
kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan
bagi kalian maka kalian boleh menyembelih domba jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih)
Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, dengan rincian:
No. Hewan Umur minimal
1. Onta :
5 tahun
2. Sapi :
2 tahun
3. Kambing
Jawa : 1 tahun
4. Domba :
6 bulan (domba jadza’ah)
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/371-372, Syarhul Mumti’,
III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461)
Cacat Hewan Qurban
Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
a) Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4:
• Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya
Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai
belum buta – meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak
berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. Ulama’
madzhab syafi’iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban
karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
• Sakit dan tampak jelas sakitnya
• Pincang dan tampak jelas pincangnya
Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi
jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh
dijadikan hewan qurban.
• Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang
Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis
cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih
Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti’ 3/294).
b) Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2:
• Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
• Tanduknya pecah atau patah (lihat Shahih Fiqih Sunnah,
II/373)
c) Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh
dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih
parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak
bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a’lam.
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
Larangan Bagi Seseorang Yang Hendak Berkurban
Seseorang yang hendak berkurban
dilarang untuk memotong kuku dan rambut ketika sudah memasuki tanggal 1
Dzulhijjah sampai hewan kurbannya disembelih. Dalilnya hadis dari Ummu Salamah
dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam,
مَن كانَ لَهُ ذِبحٌ يَذبَـحُه فَإِذَا
أَهَلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ
شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ
”Apabila engkau telah memasuki
sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin
berkurban maka janganlah dia menyentuh sedikitpun bagian dari rambut dan
kukunya.” (HR. Muslim).
Larangan tersebut berlaku untuk cara apapun dan untuk bagian
kuku dan rambut manapun. Artinya mencakup larangan mencukur gundul atau
mencukur sebagian saja, atau sekedar mencabutinya. Baik rambut itu tumbuh di
kepala, kumis, sekitar kemaluan maupun di ketiak (Shahih Fiqih Sunnah II:376).
Rambut dan kuku yang dilarang untuk dipotong dalam hadis di
atas adalah rambut dan kuku shohibul kurban, bukan rambut dan kuku hewan
kurban. karena kata ganti yang digunakan dalam kalimat ‘شَعْرِهِ’ dan ‘أَظْفَارِهِ’
adalah kata ganti tunggal untuk jenis mudzakar (laki-laki), yaitu kata ganti ‘هـ’. dan ini adalah
kata ganti yang kembali kepada pemillik hewan bukan hewannya.
Allahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar